Notification

×

Tag Terpopuler

Belum Merdeka dari Kabut Asap, Tiga Perusahaan Digugat ke PN Palembang

Thursday, August 29, 2024 | Thursday, August 29, 2024 WIB Last Updated 2024-08-29T11:21:58Z

Masyarakat terdampak kabut asap akibat Karhutla menggugat tiga perusahaan ke Pengadilan Negeri Palembang Kelas IA Khusus (Foto : Ariel/SP)

PALEMBANG, SP - Koalisi Masyarakat Sipil dan Organisasi Lingkungan yang tergabung dalam Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA) menggugat tiga perusahaan ke Pengadilan Negeri Palembang Kelas IA Khusus, terkait kabut asap yang terjadi selama bertahun-tahun.


Para penggugat adalah warga yang bermukim atau berasal dari beberapa daerah yakni, dari Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir,  Desa Lebung Itam, Kecamatan Tulung Selapan OKI dan Kota Palembang. 


Latar belakang mereka beragam, mulai dari petani, penyadap karet, nelayan, peternak kerbau rawa, ibu rumah tangga, pekerja lepas, hingga pegiat lingkungan.


Salah satu penggugat dari Desa Lebung Itam Pralensa beserta dua belas warga mengatakan, ingin menuntut ganti rugi atas tercabutnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan pemulihan lingkungan atas terjadinya kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang telah merugikan mereka baik secara materil maupun immateril.


"Bertahun-tahun saya menjadi korban kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, dan tahun lalu rumah walet saya bahkan ikut terbakar. Kami datang hari ini, untuk menggugat tiga perusahaan yang kami anggap membawa dampak kabut asap yang kami rasakan hampir setiap kemarau," ujar Pralensa, Kamis (29/8/2024).


Dijelaskannya, lewat gugatan ini pihaknya ingin memberi peringatan bahwa apa yang perusahaan lakukan itu salah, karena telah merusak lingkungan dan ruang kehidupan kami, serta menimbulkan kabut asap.


Sementara itu penggugat Marda Ellius juga mengatakan, akibatkan kabut asap tersebut berdampak buruk bagi kesehatan ekosistem dan manusia, baik fisik maupun mental. 


“Beberapa dampak dan kerugian dirasakan para penggugat, salah satunya dada sesak dan pernapasan terganggu karena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Pekerjaan yang biasa dimulai pagi hari seperti menggarap sawah, menyadap karet, mencari ikan, atau bertukang, menjadi sangat terganggu," katanya.


Lanjut Marda Ellius, dengan adanya hal tersebut, penggugat juga merugi karena biaya menanam karet dan memelihara ternak meningkat, sedangkan produktivitasnya berkurang. Kegiatan seperti kuliah, ibadah, dan kehidupan sosial lainnya terganggu hingga sering kali memicu rasa cemas dan tertekan.


“Saat terjadi kabut asap, saya merasa tertekan karena khawatir dengan kesehatan anak dan diri sendiri. Cuaca panas karena kabut asap membuat suhu tubuh kami meningkat, badan gatal-gatal, juga batuk-batuk. Ekonomi Keluarga terganggu karena asap menghalangi kami untuk menyadap karet atau menangkap ikan. Saya memutuskan menjadi salah satu penggugat dengan harapan perusahaan dan Pemerintah lebih memikirkan lingkungan hidup," bebernya.


Sementara itu Ipan Widodo dari LBH Palembang selaku kuasa hukum, sekaligus Ketua Persatuan Advokat Dampak Krisis Ekologi (PADEK), yang mengawal kasus ini mengatakan, selama ini masyarakat Sumatera Selatan sudah lama diam menghadapi dampak buruk asap hasil kebakaran hutan dan lahan gambut.


“Ini pertama kalinya masyarakat menuntut pertanggung jawaban mutlak atau strict liability dari badan hukum atas kerugian akibat pencemaran atau perusakan lingkungan yang diperbuat badan hukum tersebut," katanya.


Dijelaskannya, perjuangan ini akan jadi babak baru dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia dan gaya baru perjuangan rakyat melawan krisis iklim. Karhutla yang terjadi di wilayah izin para tergugat telah berkontribusi signifikan memicu kabut asap di Palembang pada 2015, 2019, dan 2023.


"Luas areal terbakar dalam konsesi para tergugat pada 2015-2020 seluas 254.78 hektare setara hampir empat kali luas DKI Jakarta. Ketiga perusahaan ini pun pernah dikenai sanksi hingga denda akibat karhutla berulang. Namun hingga tahun lalu, konsesi ketiganya ternyata masih terus terbakar," jelasnya.


Menurutnya, Konsesi PT BMH, PT BAP, dan PT SBA Wood Industries berada pada lanskap gambut, yang sebenarnya punya peran penting menyimpan karbon. Rusaknya gambut di lanskap tersebut, yang lantas memicu karhutla dan kabut asap terus-menerus,


“Tentu sangat memperburuk krisis iklim. Peningkatan emisi karbon akibat karhutla dan kabut asap juga berkontribusi menghambat upaya penurunan emisi, bahkan membuat gagalnya pencapaian target iklim

oleh pemerintah Indonesia,” kata Juru 

Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba.


Humas PN Palembang Harun Yulianto membenarkan, pihaknya telah menerima permohonan gugatan terkait lingkungan hidup dampak kabut asap Karhutla di Provinsi Sumatera Selatan.


"Untuk selanjutnya, apabila berkas permohonan dinyatakan lengkap maka selanjutnya akan diregistrasi dan menunggu penetapan persidangan," ujar Harun.


Harun menjelaskan, pada proses penetapan persidangan gugatan perdata biasanya berproses dalam waktu 1 x 24 jam dan penetapan sidang bisa dilihat langsung melalui website SIPP PN Palembang. (Ariel)

×
Berita Terbaru Update