Sidang kasus dugaan korupsi dana hibah Bawaslu Prabumulih digelar di Pengadilan Tipikor Palembang (Foto : Ariel/SP) |
PALEMBANG, SP - Sidang pembuktian perkara dugaan tindak pidana korupsi dana hibah sebesar Rp 1,8 milyar tahun anggaran 2017-2018 pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Prabumulih digelar di Pengadilan Tipikor Palembang, Selasa (14/3/2023).
Dalam perkara tersebut, menjerat tiga terdakwa komisioner Bawaslu Prabumulih yakni, Herman Julaidi, Iin Susanti dan M Iqbal.
Dihadapan majelis hakim yang diketuai Sahlan Efendi SH MH, tim Jaksa Penuntut Umum Kejari Prabumulih menghadirkan tujuh saksi.
Saksi-saksi yang dihadirkan langsung dalam persidangan sesi I diantaranya, Syarkowi mantan Sekda Prabumulih, Jauhari Fahri mantan Kepala BPKAD Prabumulih, Heriyanti Sekwan DPRD Prabumulih, Benny Rizal mantan Kabag Hukum, Soesatyo Sekretaris Inspektorat.
Kemudian untuk saksi sesi II yakni, Karlisun Korsek Panwaslu Prabumulih 2017-2018 dan A. Taufiq Bendahara Panwaslu Prabumulih 2017-2018.
Terlihat dalam persidangan, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Prabumulih Roy Riady SH MH memimpin langsung tim penuntut umum, mencecar pertanyaan kepada para saksi terkait prosedur pencairan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dan pertanggungjawaban dana hibah Bawaslu.
Mantan Sekda Prabumulih yang juga Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Syarkowi dalam persidangan, dicecar oleh Kajari Prabumulih Roy Riady dan tim Penuntut Umum terkait pengajuan proposal dana hibah dari Bawaslu Provinsi Sumsel tahun anggaran 2017-2018.
"Proposal permohonan dana hibah awalnya yang diajukan Bawaslu Sumsel sebesar Rp 20 milyar. Akan tetapi, sesuai kemampuan keuangan daerah kemudian disetujui pemberian dana hibah tersebut sebesar Rp 5,7 milyar yang dicairkan sebanyak dua kali yakni pada tahun 2017 sebesar Rp731 juta dan di tahun 2018 Rp4,9 miliar," ujar Syarkowi dalam persidangan.
Kemudian, penuntut umum kembali mempertegas terkait pertanggungjawaban dana hibah yang mengacu pada Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) menjadi syarat untuk pencairan dana hibah.
"Saudara saksi, proses pengajuan sampai pencairan, penggunaan dana hibah apakah harus mengacu pada lampiran yang tercantum di NPHD?," Tanya Jaksa.
"Benar karena itu merupakan satu kesatuan, hingga pertanggungjawabannya, bahwa dana hibah tersebut dari mata anggaran BPKAD, penerima hibah wajib mempertanggungjawabkan dana tersebut ke BPKAD," jawab saksi.
Pertanyaan dilanjutkan oleh penuntut umum ke saksi Jauhari Fahri mantan Kepala BPKAD Prabumulih terkait fakta integritas NPHD.
"Saudara saksi, fakta integritas, yang menandatangani penerima hibah yakni Bawaslu apakah ada kaitannya NPHD?," Tanaya Jaksa lagi.
"Format NPHD dibuat oleh penerima hibah, karena fakta integritas itu melekat pada NPHD. Akan tetapi saya tidak tahu siapa yang membuat format NPHD tersebut," kata saksi.
Sedangkan saksi Heriyani yang merupakan Sekretaris DPRD Kota Prabumulih membenarkan adanya pembahasan anggaran di DPRD terkait dana hibah Bawaslu Kota.
"Tim TAPD Kota Prabumulih, saat itu hanya menyampaikan secara global, salah satunya terkait pengajuan dana hibah dana hibah Bawaslu. Namun pada saat pengajuan yang disetujui hanya Rp731 juta di tahun 2017, dan ditahun 2018 Rp4,9 miliar," jelasnya.
Sementara terdakwa Herman Julaidi membantah jika Bawaslu yang membuat format NPHD.
"Bukan kami yang buat format NPHD, kami datang diundang Walikota dan tinggal menandatangani saja," ujarnya saat memberikan tanggapan atas keterangan saksi. (Ariel)