Sidang pemeriksaan terdakwa delapan komisioner Bawaslu Muratara di Pengadilan Tipikor Palembang (Foto : Ariel/SP) |
PALEMBANG, SP - Sidang pembuktian perkara dugaan korupsi dana hibah tahun anggaran 2019 - 2020 pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Musi Rawas Utara yang menjerat delapan terdakwa kembali digelar di Pengadilan Tipikor Palembang, Kamis, (15/9/2022).
Kedelapan terdakwa itu yakni, Munawir selaku Ketua Bawaslu, M Ali Asek, Paulina, Kukuh Reksa Prabu, Siti Zahro, Tirta Arisandi, Hendrik dan Aceng Sudrajat.
Dihadapan majelis hakim yang diketuai Efrata Heppy Tarigan SH MH, tim Jaksa Penuntut Umum Kejari Lubuklinggau menghadirkan secara langsung dalam persidangan kedelapan terdakwa tersebut untuk saling bersaksi sekaligus pemeriksaan terdakwa.
Dalam keterangannya saat menjadi saksi untuk tiga komisioner Bawaslu Muratara, terdakwa Siti Zahro, Kukuh Reksa Prabu, Hendrik, Tirta Arisandi dan Aceng Sudrajat, mengakui bahwa komisioner Bawaslu Sumsel menerima aliran dana hibah dengan dalih untuk pengamanan saat pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Bahkan terdakwa Tirta Arisandi juga mengungkapkan, Kajari, Kapolres dan pihak BPKAD pada saat itu juga mendapatkan bagian sejumlah uang dana hibah atas arahan komisioner Bawaslu Muratara.
"Saya serahkan langsung diruangan ketua Bawaslu Sumsel Iin Irwanto sebesar Rp 200 juta untuk pengamanan yang mulia. Selain itu seluruh komisioner Bawaslu Sumsel juga mendapatkan fee dari dana hibah Bawaslu Muratara," ujarnya kepada majelis hakim.
Terkait nama Kajari dan Kapolres dan pihak BPKAD terdakwa Tirta Arisandi mengaku inisiatif dari tiga komisioner Bawaslu Muratara.
"Kajari dan Kapolres Rp10 juta atas arahan pimpinan, itu inisiatif lisan dari tiga komisioner. Munawir usai rapat ngajak kita menghadap Kajari dan Kapolres untuk audiensi. Uangnya saya yang bawa, tapi Munawir yang menyerahkannya langsung kepada mereka masing-masing 10 juta. Sedangkan untuk BPKAD diberikan Rp 40 juta itu untuk kompensasi telah mengurus NPHD dana hibah," ungkapnya.
Sementara terdakwa Aceng Sudrajat juga mengakui ikut memberikan sejumlah uang kepada Komisioner Bawaslu Sumsel.
"Saya berikan uangnya untuk pak Iin Irwanto Ketua Bawaslu Sumsel melalui Herman Fikri, untuk pengamanan yang mulia," ujar Aceng.
Mendengar keterangan para terdakwa, hakim kemudian mempertanyakan terkait uang pengamanan yang begitu banyak.
"Banyak sekali yang diamankan ini.Kan saudara kasih semua orang untuk pengamanan, jadi saudara sama saja menghambur garam ke laut. Apa yang mau diamankan, sementara saudara sendiri sekarang yang diamankan," tegas hakim ketua kepada terdakwa Aceng.
Sebelum memberikan kesempatan kepada hakim anggota lainnya untuk bertanya, ketua majelis hakim Efrata Heppy Tarigan, sempat mengingatkan penuntut umum untuk menelusuri nama-nama yang disebut dalam persidangan.
"Silahkan jaksa penuntut umum untuk menelusuri perkara ini," ujar hakim ketua.
Sedangkan terdakwa Siti Zahro saat ditanya hakim, membenarkan keterangan Aceng Sudrajat terkait kesepakatan pemberian uang untuk komisioner Bawaslu Sumsel.
"Benar yang mulia, saya sudah tanyakan kepada pak Aceng katanya memang uang itu untuk pak Iin ketua Bawaslu Sumsel," ujarnya.
Kemudian hakim mengingatkan kepada para terdakwa harus jujur dan memiliki bukti terkait pemberian uang.
"Silahkan saudara mengatakan, telah memberikan uang kepada Kepolisian, Kejaksaan, Komisioner Bawaslu dan lainnya tetapi harus ada bukti, jangan fitnah karena pengadilan ini memiliki azaz yang berimbang," tegas hakim anggota.
Untuk diketahui dalam perkara tersebut, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum Kejari Lubuklinggau menyebutkan bahwa para terdakwa telah melakukan dugaan korupsi dana hibah tahun anggaran 2019 dan tahun 2020 sebesar Rp2,5 miliar dari nilai total dana hibah Rp9,5 miliar untuk pelaksanaan kegiatan Pileg dan Pilpres ditahun 2019, serta pilkada Muratara di tahun 2020.
Dalam pelaksanaan kegiatan Bawaslu Muratara, ada kegiatan yang di Mark up diantaranya biaya sewa gedung laboratorium komputer SMA Bina Satria untuk seleksi anggota pengawas kecamatan (Panwascam) berbesar Rp40 juta, akan tetapi dari pelaksanaan tersebut pihak sekolah hanya menerima Rp11 juta.
Selain itu, untuk belanja publikasi kegiatan pada penyedia jasa, diantaranya media online sebesar Rp30 juta, namun nyatanya pembayaran itu fiktif atau tidak ada.
Serta dana hibah Bawaslu juga diberikan kepada masing-masing terdakwa sebesar Rp100 juta atas inisiatif terdakwa Munawir selaku ketua Bawaslu.
Atas perbuatannya, JPU menjerat para terdakwa dengan dakwaan memperkaya diri sendiri atau orang lain sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. (Ariel)