Notification

×

Tag Terpopuler

Ramai-ramai Tolak Pajak Kuliner

Monday, March 02, 2020 | Monday, March 02, 2020 WIB Last Updated 2020-03-02T09:25:51Z
Forum Komunikasi Pelaku Kuliner Bersatu (FK-PKBP) saat melakukan aksi demonstrasi di Kantor Walikota Palembang, merespon kebijakan pemerintah kota Palembang dalam menerapkan Perda Nomor 02/2018 terkait dengan pajak restoran. (foto:Ara)
PALEMBANG, SP - Kebijakan Pemerintah Kota Palembang yang bakal menerapkan pajak 10 persen bagi pelaku kuliner dinilai memberatkan bagi masyarakat terutama pelaku kuliner itu sendiri. 

Forum Komunikasi Pelaku Kuliner Bersatu (FK-PKBP) menganggap jika kebijakan tersebut tidak manusiawi terhadap para pedagang kuliner di Palembang.

Hal ini membuat ratusan orang pelaku kuliner melkaukan aksi demo di Kantor Walikota Palembang, Senin (2/3/2020). Aksi tersebut dilakukan untuk merespon kebijakan pemerintah Kota Palembang dalam menerapkan Perda Nomor 02/2018 terkait dengan pajak restoran.

Para pelaku usaha kuliner tersebut mengaku keberatan atas kebijakan yang diterapkan Pemkot Palembang. Dimana menetapkan ketentuan penarikan pajak 10 persen dari setiap konsep penjualan yang minimal Rp3 juta perbulan atau Rp per hari.

Koordinator Aksi, Bima Sakti mengatakan, para pelaku usaha mengaku keberatan dengan kebijakan tersebut.

"Jangan jadikan kami seperti ayam potong pak Walikota, yang siap dipotong kapan saja, kami minta diperlakukan secara manusiawi," katanya.

Dijelaskannya, pelaku kuliner yang tergabung dalam Forum Komunikasi mengaku keberatan dari kebijakan Pemkot Palembang terkait Perda Kota Palembang yang mendefinisikan restoran sebagai usaha kuliner secara umum seperti warung makan, warung tenda, termasuk penjajah makanan dengan sepeda dan motor juga dapat dikategorikan sebagai restoran.

Menurutnya, ketentuan 10 persen merupakan angka yang terlalu tinggi jika diambil dari omset. Sebab omset tidak dapat dijadikan patokan kelayakan bagi usaha yang mampu membayar pajak. 

Termasuk pada usaha kuliner yang belum mendapatkan keuntungan jika omsetnya belum lebih Rp juta.

"Pihak Pemkot berdalih akan menetapkan pajak kepada konsumen itu pun tidak tepat. Sebab konsumen para pelaku usaha kuliner yang tergabung dalam forum ini merupakan konsumen dari segmen menengah ke bawah," katanya.

Ia mengatakan, berdasarkan pengalaman beberapa restoran dan rumah makan di Palembang pemasangan tapping box sebesar 30 persen dalam jangka waktu 3 sampai 5 hari setelah pemasangan. 

Bahkan, sejak lima tahun terakhir ini telah terjadi kelemahan kondisi perekonomian rata-rata pedagang mengaku ada penurunan omzet penjualan sekitar 30 persen.

Pihaknya meminta, setelah menyatakan sikap penolakan terhadap kebijakan pajak restoran, dalam waktu lebih dari 7 bulan patut disyukuri ada upaya revisi Perda Nomor 2/2018 yang saat ini sedang diproses terbanyak DPRD Kota Palembang.

"Namun dari pengamatan kami, pihak Pemkot Palembang seperti tidak serius dalam mengkaji persoalan pajak restoran dan terkesan menyampaikan usulan dari forum kami sehingga menimbulkan kekhawatiran akan adanya penetapan pajak usaha kuliner yang tidak berkeadilan bagi pelaku usaha kuliner," katanya.

FK-PKB sendiri mengusulkan, definisi dan kategori usaha kuliner yang terdiri dari tiga jenis yaitu restoran, rumah makan, dan warung makan. Penetapan pajak 10 persen bagi pelaku usaha kategori restoran, 0,5 persen bagi rumah makan sesuai PP No 23 tahun 2018 yang berlaku sejak 1 Juli 2018.

Bahwa pajak UMKM ditetapkan 0,5 persen dari pendapatan kotor/jumlah omset, dan 0 persen atau sesuai kemampuan bagi warung makan warung tenda dan usaha kuliner sejenis ini.

Sementara itu Sekretaris Daerah Kota Palembang, Ratu Dewa mengatakan, keluh kesah para pedagang akan menjadi perhatiannya. Ia memastikan bahwa aturan yang diterapkan kepada pelaku kuliner tidak akan mematikan usaha para prdagang ini.

"Nantinya akan ada kalisifikasi usaha disesuaikan dengan pajak yang dikenakan, tidak akan dipukul rata," katanya. (Ara)
×
Berita Terbaru Update