![]() |
Suasana sidang pembacaan pledoi terdakwa dirut BPR Sumsel di PN Tipikor Palembang, kemarin, (foto/fly) |
PALEMBANG. SP - Sidang perkara dugaan pemberian 21 fasilitas kredit
kepada 12 kreditur yang menjerat Direktur Utama (Dirut) Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) Sumsel periode 2006-2017, Nazirwan Delamat (58) memasuki agenda pledio
(pembelaan), Senin (13/1) kemarin di Pengadilan Tipikor Palembang.
Dihadapan majelis hakim
yang diketuai hakim tipikor Erma Suharti, pledoi dibacakan oleh kuasa hukum
terdakwa Lailatul Qodar dari kantor
hukum Samudra Palembang.
Dalam kutipan pledoi yang
dibacakan, bahwa menurutnya dakwaan serta tuntutan disampaikan oleh JPU Kejari Palembang Indah
Kumala Sari sangatlah tidak sesuai dengan keterangan saksi-saksi dari pihak
terdakwa terutama keterangan saksi ahli yang dihadirkan pihak kuasa hukum
terdakwa pada sidang sebelumnya.
"Yang kami tekankan
disini yaitu keterangan saksi ahli dari pihak kami yang menekankan pada pasal
64 ayat 1. Karena menurut kami apa yang didakwakan dan pada tuntutan terhadap
klien kami sangatlah berketidaksesuaian unsur yang terdapat pada pasal 64 ayat
1 yang seharusnya itu dikenakan pada pasal 65. jadi itu tidak sama antara
dakwaan dan tuntutan,” ungkap kuasa hukum terdakwa, kemarin.
Sementara itu, terdakwa
Nazirwan Delamat juga menyampaikan pledoi pribadinya dihadapan majelis hakim
yang meminta majelis hakim memberikan keputusan yang seadil-adilnya serta jika
dinyatakan bersalah meminta dihukum seringan-ringannya.
"Saya ingin
menyampaikan pada majelis hakim. Bahwa saya adalah orang yang membangun BPR
Sumsel dari awal berdiri. Layaknya saya sebagai orang tua, tidak mungkin
mencelakakan apalagi menghacurkan apa yang telah saya bangun dari awal,” bela
terdakwa.
Setelah mendengarkan
pledoi tersebut, majelis hakim menunda dan akan melanjutkan sidang pada oekan
depan dengan agenda mendengarkan jawaban JPU atas Pledoi yang disampaikan.
Seperti diberitakan
sebelumnya, Nazirwan diseret ke meja hijau dan dituntut JPU dengan tuntutan
pidana penjara selama 8 tahun adalah berdasarkan hasil penyelidikan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) yang menemukan pembayaran kredit bermasalah hingga puluhan
miliar rupiah sejak Agustus 2011 hingga
Desember 2016.
Sebagai Direktur Utama
terdakwa dengan sengaja membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam
pembukuan atau dalam laporan maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha,
laporan transaksi atau rekening suatu bank.
Yaitu terdakwa telah
menyetujui pemberian 21 fasilitas kredit dengan 12 debitur dan total plafon
sebesar Rp40.975.000.000. Serta terdakwa juga menyetujui pemberian empat
fasilitas kredit kepada debitur atas nama PL Konsorsium Indomineratama Waspada Karsa
(PL KIWK) dengan plafon sebesar Rp15.200.000.000.
Terdakwa juga menyetujui
pemberian dua fasilitas kredit kepada debitur atas nama PT Bangau Persada
Nusantara (BPN) dengan total plafon Rp4,5 miliar. Namun ternyata
pemberian fasilitas kredit tersebut tidak didasari dengan adanya Surat Perintah
Kerja (SPK).
Selain itu nilai agunan
yang tidak mengcover plafon kredit, tidak dilakukan survei ke lokasi
proyek/klarifikasi kepada bowheer. Serta persetujuan kredit diberikan dalam
rapat internal sebelum adanya analisis kredit, tidak terdapat track record
usaha ataupun keuangan debitur (SID), beberapa SPK tidak sesuai dengan nama
debitur yang diajukan.
Serta tidak dilakukan
verifikasi kebenaran data laporan keuangan, tidak dilakukan analisis konsep
hubungan total pemohon kredit (one obligor concept) dan tidak dilakukan
analisis kebutuhan modal kerja.
Disamping itu terhadap 21
fasilitas kredit tidak digunakan debitur, melainkan digunakan oleh Amiruddin
dan dari hasil pencairan pemberian kredit tersebut telah dibukukan atau
dicatatkan di register pinjaman kredit dan buku kas besar di PT BPR Sumsel. (fly)