![]() |
Acara Dialog Pelibatan Civitas Akademika dalam Pencegahan Terorisme Melalui FKPT Sumsel, dengan tema Jaga Kampus Kita di Politeknik Negeri Sriwijaya (foto/raf) |
PALEMBANG, SP - Ketua FKPT Sumsel, Feriansyah menyampaikan Potensi
radikalisme yang mengarah terioris di Perguruan tinggi secara nasional
potensinya 39 persen, sementara di Sumsel, berdasarkan penelitian yang di
lakukan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sumsel, potensi radikal di
kampus menunjukan angka 55, 6 persen.
"Ini artinya menjadi perhatiakan ini jangan sampai
akademisi terpapar radikalisme," kata Feriansyah saat acara Dialog
Pelibatan Civitas Akademika dalam Pencegahan Terorisme Melalui FKPT Sumsel,
dengan tema "Jaga Kampus Kita" di Politeknik Negeri Sriwijaya,
Palembang, kemarin (1/10).
Meskipun di Sumsel termasuk aman, namun paham radikal
bisa tumbuh dan muncul dimana saja, tidak hanya pria dewasa, namun juga saat
ini juga terlibat perempuan dan anak-anak, seperti beberapa waktu lalu di
Surabaya.
Selain mayasrkat biasa, bukan tidak mungkin akademisi
bisa berpotensi terpapar radikalisme, makanya civitas academica harus terlibat
dalam pencegahan. Jangan sampai mahasiswa terlibat terorisme. "Dialog
seperti yang kita lakukan ini, salah satu bentuk pertanggungjawaban kita semua
agar negara Indonesia lebih baik, bebas dari terorisme," ujarnya
“FKPT terus mendorong dan berpartisipasi dalam
menanggulangi terosisme dengan mendorong dan mengajak semua pihak, pemuda,
pemkab, pemkot, kalangan akademisi, tokoh masyarakat dan sebagainya,”tukasnya.
Sementara itu, Direktur Pencegahan BNPT Ir Hamli ME
mengatakan Indonesia perlu bersyukur masih memiliki negara, dibandingkandi
negara lain, terutama di timur tengah, seperti di Suriah yang koplik
berkempanjangan dan sebagainya.
"Namun kita juga perlu waspada, bahwa anacaman
kelompok teror tatap ada," katanya.
Menurutnya banyak pemicu sikap dan tindakan
aksiterorisme. Menurut hasil penelitian yang ia ungkapkan, penelitian itu
dilakukan 2012 lalu oleh Indonesian Institute for Society Empowerment
(INSEP).
"45, 5 persen motif aksi teror karena idiologi
agama, 20 persen karena solidaritas kumunal atau komunitas, 12, 7 persen karena
mob metality, 10,9 persen karena ingin balas dendam, 9,1 persen karena
situasional, bisa karena ekonomi dan sebagainya, sedang 1,8 persen karena
sparatisme," kata Hamli saat memberikan materi pada peserta dialog.
Menurutnya aksi terorisme juga ada proses, yang pertama
di mulai dari intoleransi. Ini merupakan orientasi negatif, atau sikap menolak
hak-hak politik dan sosual yang tidak disetujui.
Lalu meningkat menjadi sikap radikalisme. Ini merupakan
suatu ideologi atau gagasan yang ingin melakukan suatu sistem sosial dan
politik dengan cara kekerasan. "Ada beberpa poin pada kelompok radikan
yaitu anti pancasila, menyuburkan sikap intoleransi, anti NKRI, menyebarkan
paham takfiri, serta menyebabkan distras bangsa," katanya.
Setelah itu baru
meningkat ke level terorisme. "Ini adalah sudah merupakan tindakan yang
mengunakan kekerasan. Sehingga menyebar rasa takut secata meluas," urainya.
“Mengamputasi penyakit
dan virus radikalisme yang telah merambah cukup lama ini perlu kekuatan
bersama. Semoga kebijakan ini mampu menguatkan wawasan kebangsaan mahasiswa dan
mengeliminir kekuatan ideologi radikalisme di lingkungan kampus,”pungkasnya. (raf)