- Pemilik Bakso Granat Mas Aziz Minta Usahanya Jangan Ditutup
PALEMBANG, SP - Kisruh pengrusakan alat E-Tax yang diduga dilakukan oleh adik pemilik usaha Bakso Granat Mas Aziz hingga dilakukan penyegelan terhadap usaha tersebut, alat E- Tax yang sebelumnya telah dipasang oleh Pemkot Palembang sebagai upaya pengenaan tarif pajak sebesar 10 % berbuntut panjang hingga membuat Forum Komunikasi Kuliner Bersatu (FK-PKBP) angkat bicara.
Saat menggelar jumpa pers bertempat di Bakso Granat Mas Aziz Jalan Inspektur Marzuki depan SMA Negeri 11 Palembang, Senin (9/9). H. Dasril selaku ketua FK-PKBP sangat menyayangkan akan adanya rencana pemerintah kota Palembang menyegel tempat usaha Bakso Granat Mas Aziz setelah adanya temuan pengrusakan alat E-Tax yang diduga dilakukan oleh adik pemilik, yang menurutnya dilakukan tanpa unsur kesengajaan.
Menurutnya, hal tersebut juga sudah disampaikan permohonan maaf oleh pemilik usaha kepada pihak terkait, demikian juga telah disampaikan secara rinci perihal terjadinya yang disangkakan oleh pihak pemkot sebagai pengrusakan tersebut.
Abdul Azis, selaku pemilik usaha Bakso Granat Mas Aziz menceritakan ikhwal terjadinya kerusakan alat E-Tax bukanlah unsur kesengajaan.
"Ya sebelumnya saya selaku pemilik usaha meminta maaf kepada pihak pemkot Palembang atas insiden yang terjadi berupa kerusakan alat e-tax tanpa sengaja yang dilakukan oleh adik, saya menceritakan kejadian sebenarnya bahwa saat itu, alat e-tax yang dipasang pada colokan listrik di meja kasir oleh karyawan saya sudah penuh, dikarenakan pada saat itu ketika adik saya ingin menghidupkan kipas angin dikarenakan cuaca panas maka adik saya langsung mencabut saja colokan alat tersebut, hingga mengakibatkan kerusakan" Jelas Aziz
"Saya mohon memaafkan kelakuan adik saya tersebut, dan hal ini juga sudah saya sampaikan saat kejadian kemarin, jangan cuma gara-gara masalah ini, tempat usaha saya disegel dan ditutup, yang tentunya sangat berdampak terhadap nasib puluhan karyawan, dan ratusan suplier" Ungkap Aziz dihadapan awak media.
Sementara itu, Sekretaris FK-PKBP Vebri Al Lintani memaparkan pokok-pokok pikirannya mengenai penyegelan yang dilakukan sepihak oleh pihak Pemkot Palembang. Dikarenakan tidak sesuai dengan hasil diskusi yang dilakukan beberapa kali oleh FK-PKBP yang terdiri dari Persatuan Pengelola Rumah Makan Minang (PPRMM) Sumatera Selatan dan Palembang, Asosiasi Pengusaha Pempek (ASPPEK), Paguyuban Bakso Solo Berseri (PBSB), Asosiasi Pecel Lele, Asosiasi Pecel Lele Lamongan, Mi Ayam dan pedagang kuliner Iainnya pada tanggal 28 Juli 2019 lalu di Rumah Makan Palapa KM 5 Palembang. Banyak keluhan para pedagang khusunya dibidang kuliner yang mengeluh berkurangnya omset yang diakibatkan daya beli masyarakat yang semakin menurun efek dari perekonomian yang lesu, ditambah lagi masyarakat harus dibebani dengan sejumlah pajak yang dikenakan terutama pajak restoran yang ditetapkan oleh pihak pemkot Palembang.
"Kami sangat khawatir para konsumen akan merasa keberatan sehingga akan mengurangi omset penjualan secara signifikan. Bahwa di dalam Perda Kota Palembang No. 12 tahun 2010 tentang Pajak Restoran, pasal 2 (4) tentang Pajak Restoran, disebutkan bahwa tidak termasuk objek pajak restoran sebagaimana yang dimaksud ayat (2) adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai omzet penjualannya tidak melebihi sebesar Rp. 100.000 per-hari," kata Vebri.
Dilihat dari aspek hukum, omzet penjualan di atas Rp 100.000 Iayak menjadi objek pajak dengan kewajiban membayar pajak. Ketentuan ini sangat memberatkan pengusaha kuliner di Palembang. Meskipun kemudian diralat oleh BPPD Palembang bahwa yang dikenakan pajak adalah pedagang dengan omzet Rp 2-3 juta, pada waktu lain dikatakan oleh BPPD menjadi di atas Rp 40 juta.
"Bahwa sekarang berlaku Perda Kota Palembang No. 12 Tahun 2018. Namun setelah kami cermati, pada intinya substansi Perda ini, khusus tentang Pajak Restoran, pasal 3 (8): tidak ada perubahan kecuali redaksi yang menyatakan omzet penjualan yang minimal Rp. 3.000.000,00 per-bulan. Artinya perhari tetap minimal Rp. 100.000,00." Ucap Vebri
Untuk itulah, Vebri pun menjelaskan bahwa masih terdapat kesimpang siuran informasi tanpa kepastian hukum yang jelas mengenai pajak restoran yang dibebankan kepada pelaku usaha. Sementara pihak Pemkot Palembang melalui Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) yang menurutnya belum pernah mensosialisasikan rencana perubahan pemungutan pajak tersebut. Yang justru pihak BPPD malah langsung memasang alat E-Tax secara tiba-tiba.
Berikut Pernyataan Sikap Forum Komunikasi Paguyuban Kuliner Bersatu Palembang (FK-PKBP) :
1. Menolak pengenaan pajak restoran yang dibebankan kepada konsumen sebesar 10 persen dengan jumlah omset minimal Rp 3.000.000 perbulan atau Rp. 100.000 per-hari.
2. Menolak pemasangan alat e-tax (tapping box) di tempat-tempat transaksi perdagangan kuliner di Palembang
3. Menuntut DPRD dan Pemerintah Kota Palembang agar merevisi Perda Kota Palembang No. 12 Tahun 2018, tentang Pajak Daerah dan Perwali nomor 84 tahun 2018 tentang pajak restoran, hotel, tempat hiburan dan parkir terutama yang terkait dengan pelaku usaha kuiliner.
4. Selama proses revisi berlanjut meminta pihak pemkot untuk tidak memberlakukan kebijakan kontroversi yang sangat meresahkan ini. Sebagai warga Negara yang baik akan tetap membayar pajak sebagaimana yang telah berjalan seperti selama ini. Pada proses revisi Perda kami meminta adanya keterlibatan dari pihak kami, Forum Komunikasi Paguyuban Kuliner Bersatu Palembang (FK-PKBP).
"Kami berharap tuntutan ini dikabulkan oleh pihak Pemkot Palembang. FK-PKBP Palembang ini beranggotakan 300 pelaku usaha (pedagang). Di sini juga hadir Ketua Bang JAPAR, Iskandar Sabeni selaku penasehat di FK-PKBP," pungkasnya. (Fly)