Gubernur Sumsel, H Herman Deru saat menerima Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Hairul Sobri di ruang tamunya, kemarin.(foto/lan) |
- Walhi : Tata Kelola Lahan Harus Diperbaiki
PALEMBANG, SP - Bencana kabut asap yang melanda Sumsel sebulan terakhir tak bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan Pemprov saja, tapi harus dikerjakan secara "keroyokan" oleh semua instansi yang terlibat. Pernyataan tersebut dilontarkan Gubernur Sumsel H.Herman Deru saat menerima kunjungan Pengurus Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, di ruang tamu Gubernur, kemarin.
Menurutnya sejak dilantik 11 bulan lalu menjadi Gubernur Sumsel, Ia memang menantikan kehadiran Pengurus Walhi untuk bertukar pikiran sekaligus mencari solusi terkait bencana kabut asap. Karena bahaya kabut asap ini menurutnya tak hanya mengancam kesehatan warga tapi juga keluarganya sendiri.
Karena itu untuk sebagai antisipasi jangka panjang dan tidak selalu berulang, Ia mengajak Walhi menggelar Focus Group Diskusi (FGD) secepatnya. FGD ini diharapkan dapat menghadirkan semua pihak yang terlibat seperti organisasi pemerhati lingkungan, masyarakat, perusahaan dan Pemda meliputi Bupati dan Walikota se Sumsel. "Setiap tahun selalu itu-itu saja, Karhutla tetap terjadi di Muba, OKI dan OI. Saya pikir kita perlu menggelar FGD secepatnya. Bila perlu kita undang Menteri KLHK. Karena jujur saya tidak happy dengan kejadian ini," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Hairul Sobri mengatakan luasan lahan gambut di Sumsel mencapai 1,4 juta hektar. Dari luasan lahan tersebut, 900 ribu hektarnya merupakan lahan gambut dalam. Sementara dari pantuannya, sebanyak 700 ribu hektar lahan gambut dalam sudah diberikan izin konsesi kepada perusahaan untuk dikelola. "Kondisi tersebut membuat lahan gambut menjadi mudah terbakar. Karena kondisinya mengering hingga ke lapisan bawah," katanya.
Lanjutnya, pemberian izin pembukaan lahan harus dikendalikan. Meskipun izin diberikan oleh pemerintah kabupaten, namun Pemprov harus memiliki regulasi yang melarang perizinan baru di lahan gambut tersebut. "Seperti di OKI, ada dua perusahaan baru yang izinnya dikeluarkan Bupati. Memang yang keluarkan bupati. Tapi Gubernur juga harus intervensi melakukan proses pencegahan. Jangan sampai dikeluarkan," ujar Hairul.
Hairul menjelaskan, pengawasan yang dilakukan terhadap perusahaan yang mengajukan izin juga lemah. Hal ini terbukti dari ditetapkannya dua perusahaan perkebunan sebagai tersangka pembakar lahan oleh Polda Sumsel. "Dua perusahaa itu perusahaan baru yang diberi izin untuk mengelola hutan produksi. Tapi nyatanya ditanami sawit. Ini menandakan lemahnya fungsi pengawasan oleh pihak terkait," jelasnya.
Lebih lanjut diungkapkannya, penanganan Karhutlah tidak hanya sekedar asap. Tapi juga harus ada penegakan hukum dan sanksi dengan cara pencabutan izin usaha perusahaan yang lahannya terbakar. Selanjutnya, untuk lahan gambut dalam fungsinya dikembalikan lagi dengan menanam tanaman endemik. "Kami menyarankan agar lahan gambut dalam dipulihkan dan dilindungi misal dengan ditanami tanaman endemik dan juga kanal untuk pembasahan gambut. Tidak dengan kanal yang dibuat perusahaan yang fungsinya malah mengeringkan gambut," ungkap Hairul.
Hairul menambahkan, pihaknya meminta Pemprov Sumsel untuk memberikan respon tanggap terhadap situasi asap yang menyerang kota Palembang dan sebagian wilayah lainnya. Pembagian masker yang dilakukan juga dirasa percuma lantaran kondisi usara saat ini sudah masuk kategori tidak sehat. "Sesuai standar WHO harusnya standar maskernya N95 untuk kategori tidak sehat. Kalau sudah masuk kategori bahaya harusa dilakukan pembagian oksigen," katanya. (Lan)